Minggu, 03 April 2011

Sisa-sisa Upacara Kematian Agama Kultur yang Menjadi 'Parasit' dalam Aqidah Islam


cap-go-meh
Oleh: A. D. El Marzdedeq
Agama Yang
Kebanyakan aliran-aliran agama Yang tidak mengakui adanya surga dan neraka, walapun mereka percaya akan adanya pembalasan di alam akhirat itu. Di alam akhirat itu ada tempat hukuman dan ada tempat kebahagiaan, tempat hukuman itu bukan api pembakar tetapi semacam penjara yang didalamnya itu ada pelbagai mecam siksaan, tempat kebahagiaan itu ialah ketentraman hidup di akhirat, tidak terganggu serta cukup.
Antara dunia dan akhirat itu, terletak sebuah lautan luas membentang, di ujung lautan itu terletak sebuah pulau, bertanah emas, berpasir permata, disitulah terletak istana raja akhirat Yang Lao. Orang Cina menamakannya Tiong Gwan Tie Kuan.

Penjaga akhirat itu berupa manusia berkepala binatang bersenjatakan tombak bergerigi, bersula banyak dsb. Jika ada seorang penjahat mati, lalu ia sampai keakhirat, ia akan diadukan ruh-ruh orang baik-baik kepada penjaga akhirat atau ia dipukuli beramai-ramai oleh keluarga orang yang pernah disakitinya di dunia. Penjaga akhiratpun mengusirnya dengan kejam atau memasukkannya kedalam penjara siksaan. Sebagian ruh terpaksa lari kembali ke dunia, ruh penjahat itu akan masuk kembali ke dalam badannya tetapi jasad itu telah rusak, jadilah ia ruh gelandangan yang mencari makan di tempat penyembelihan babi dengan menjilat-jilati darah yang tumpah atau ia makan sari-sari makanan/sayuran yang terbuang. Ia sangat gembira jika ada seseorang sudi memanggilnya dalam upacara cai lankung atau cai lantse, jika ia senang bertempat dalam badan baru itu, ia enggan untuk pulang.
Manusia yang baik-baik akan senang hidup di akhirat itu, karena ia dibekali keluarganya di dunia, sehingga ia di akhirat itu hidup berkecukupan, dapat membeli tanah, mendirikan rumah kembali, mempunyai kendaraan pribadi, atau jika seorang petani, ia dapat bertani kembali dan berhasil menjadi petani kaya. Ada kalanya ia menerima pula kiriman keluarganya di dunia.
Maka yang bernasib malang, seorang bujang atau gadis, jika ia mati, tatkala sampai di akhirat itu, penjaga gerbang akhirat bertanya. "Manakah pasanganmu?". Gadis dan bujang itu tak dapat menjawab, ia segera kembali ke dunia, tetapi jasadnya sudah rusak, seekor belalang molek menyediakan dirinya untuk ditumpangi ruh gadis atau bujang itu, belalang molekpun terbang kerumah orang tua si gadis atau bujang itu, ia menjerit tetapi yang mendengar hanya bunyi belalang itu.
Mati menurut ajaran Yang ialah jika ruh yang masih mempunyai selapis bungkus lagi ialah badan halus, merasa tidak puas berbadan kasar yang rusak, seperti karena: celaka, dibunuh, bunuh diri, penyakit, karena tua dsb, ruh yang berbadan halus itupun keluarlah dan jasadpun membusuk.
Jasad manusia:
  • a. Jasad kasar, makanannyapun makanan kasar.
  • b. Jasad halus, makanannyapun halus.
  • c. Ruh
Tetapi jika hanya jasad halus yang keluar, orang itu hanya mimpi, jika jasad halus itu keluar dari tubuh, berbentuk serupa shio orang itu, ada berupa kambing, harimau, naga, dsb. Jika kebetulan seorang melihat binatang jadi- jadian itu lalu dibunuhnyalah, orang itu akan mati.
Sehari kematian
Bantal bekas tidur si mati dilemparkan ke atas atap, pada orang kaya, langsung mulutnya diberi mutiara agar pandai menjawab di akhirat. Mayat dimandikan, air bekas memandikannya dijadikan air pencuci muka oleh keluarga terdekat, penangkal bayangannya. Lepas dimandikan, mayat didandani pakaian bekas kawin lengkap. Tirai-tirai di ruangan, pakaian keluarga berganti putih-putih, digantungkannya lilin putih, hio atau kemenyan di ruangan dalam. Putih adalah lambang Yin, karena kematian kembali ke bumi.
Disajikannya makanan untuk ruhnya yang dianggap masih ada sekitar ruangan itu dan sajian untuk ruh penjemput, adakalanya disajikannya makanan untuk tali ari-ari dan santan yang dianggap saudaranya itu. Santan dan tali ari-ari menjelma makhluk halus yang mirip dengan si mati. Maka dipanggilnya wanita kelenteng untuk meratapinya dan mempermainkan api dengan tarian pengusir hantu-hantu jahat, ketika itu juga seorang pendeta melemparkan buah semangka di jalan.
Mayat yang didandani lengkap dengan perhiasan itu dimassukkann ke dalam peti, pada dasar peti itu dilapisi daun teh dan obat pengawet mayat. Mayat ditidurkan terlentang berkasur kecil, berbantal putih dan berbantal guling sepasang kiri-kanan, di belakang kakinya tersedia bekal hidup di akhirat.
Wanita peratap meratapinya dengan tangis buatan, ditabuhnya tabuhan- tabuhan logam diiringi tari dan nyanyian duka, keluarga dekat si mati langsung meletakkan patung-patung kecil pada kaki mayat sebagai pengganti kepala manusia. Pada suku Dayak, terdapat kebiasaan mengayau untuk galang lungun, pada kebiasaan Cina purbapun sama juga.
Peti mati ditutup setelah semua keluarga menyaksikannya, diberinya perekat dan dipaku dengan paku-paku besar.
Peti mati ditaruh di tengah ruangan dan dijaga siang malam, maka agar penjaga tiada mengantuk, diadakan judi berseling, makan kuaci semalam suntuk. Penjaga mayat itu harus duduk dekat kepala mayat, karena jika datang kucing langit lalu melangkahi mayat, mayat itu akan bangkit kembali dan iapun akan memeluk siapapun yang duduk dekat kakinya itu. (disebut "mayat gila").
Dalam dongeng Cina: "Tersebutlah seorang penjaga mayat mengantuk di kaki mayat itu, tiba-tiba masuklah kucing langit melalui lubang kunci jendela dan langsung dilangkahinya mayat itu, mayatpun segera bangkit, ia mengerang, diangkatnya tutup peti yang berat itu sekuat tenaganya, ia turun langsung hendak memeluk si penjaga, tetapi iapun segera lari dan akhirnya ia berlindung pada sebatang pohon, mayatpun mengejar dan memeluk pohon itu, langusung ia mati kembali, sehingga untuk melepaskannya, pohon itu digergaji."
Tiga hari kematian
Diadakan pula pesta kematian, ruh masih ada di sekitar peti dan makan sari makanan yang tersedia. Pada suku Tsen purba di daerah tenggara negeri Cina, pada masa itu diadakan pembantaian kerbau dengan menebas leher kerbau dari depan, ketika kerbau tengah dilarikan, ada kalanya sampai berpuluh ekor. Kini masih berbekas pada suku Toraja.
Tujuh hari kematian
Peti tetap ada ditengah ruangan, sajian besar disediakan untuk mengantar keberangkatan ruh meninjau tempat tinggal yang baru diakhirat, hanya belum diperkenankan menetap; ketika ia meninjau itu, lilin di rumah dipadamkan, agar ia dapat melihatnya di akhirat karena cahaya lilin, (sesei liu/rie liau) ada dengan ditiup, ada dengan dikipas semuanya berjampik.
Rumah-rumahan, perahu-perahuan, kereta kecil mulai di bakar lalu disusul dengan pembakaran uang-uangan sebagai pengganti uang asli, semula uang asli itu sebagian besar dimasukkan kedalam peti dan sebagian dibakar, tetapi setelah terjadi pembongkaran kuburan digantilah dengan uang-uangan.
Mengarak peti ke kuburan atau ke dalam gua penyimpanan mayat, ada pada hari ketujuh, kesembilan atau kelimam belas.
Ketika peti itu diangkat, saudara muda dan anak-anaknya harus segera masuk ke bawah peti itu. Mayat diarak dengan iringan keluarga mayat berpakaian serba putih, bagi keluarga mayat, berpakaian serba putih itu selama seribu hari, kini termasuk pita hitam pada lengan baju.
Peti ditaburi bunga-bunga atau bunga itu dirangkai indah disimpan di atas tutup peti, keluarga dekat memayungi peti itu dengan payung upacara, di belakang iring-iringan peti itu, alat-alat kesenian dan di muka peti berjalan tukang melempar sebarkan kertas perintis jalan dan membakar mercon. Ketika peti itu mulai ditanam, merconpun disulut, keluarga lempar melempar tanah. Diatas kubur dibangunlah rumah kubur, ditanamnya juga anjuang untuk penjaga ruh dari gangguan ruh jahat. Adakalanya peti itu tidak ditaman tetapi disimpan dalam gua mayat.
Pada makam raja-raja dan kaum bangsawan ditemukan perhiasan-perhiasan yang mahal terbuat dari emas, intan, mutiara dan batu jedi, keramik-keramik istimewa, patung-patung dsb. Makam Kaisar Shih Huang Ti seluas enam setengah kilo meter persegi (6,5 km2)dan dilengkapi enam ribu tentara patung setinggi manusia.
Sembilan hari kematian
Biasanya jika peti mayat tidak dikubur pada hari ke sembilan, sembilan hari kematian hanya berupa pesta kecil dengan manyajikan kue, buah-buahan, dan ayam panggang.
Lima belas hari kematian
Ada pula sebagian keluarga yang merayakannya dengan menyalakan lima batang hio dan menyajikan ayam pangang, buah-buahan dan air teh. Sebagian keluarga, bersiap mengantarkan peti mayat ke kuburan atau ke tempat penyimpanan mayat.
Empat puluh hari kematian
Menurut kepercayaan ajaran Yang: Ruh yang beraga halus itu pergi sementara ke akhirat, jika ia orang baik-baik, penduduk akhiratpun datang menjemputnya, ditiupnya serunai, genderang, disajikannya buah-buahan dan dipersilakannya melihat-lihat akan keadaan rumah, toko, kebun yang belum selesai, setelah itu ruh kembali kebumi dan ia mendapat tantangan dan godaan, tetapi karena ia diantar pengawal Yang akhirat, segala godaan itu dapat diatasinya. Di rumah ia makan-makan segala sari makanan dan minuman yang disediakan untuknya, dalam pesta empat puluh hari kamatian.
Konon pengawal akhirat pulang kembali, ruh sehari semalam itu tinggal dalam ruang tempat penyimpanan peti, keesokan harinya ruh pulang ke akhirat, ia pun mendapat godaan dalam perjalanan pulang ke akhirat di lautan antara dunia dan akhirat itu, ketika dilewatinya bulan, si Bongkok yang nakal mengulurkan tali kailnya untuk mengail perahu yang ditumpanginya, ruh memberi kue-kue pada tikus sehingga tikuspun memutuskan tali kail itu, setiap tali kail diulurkannya.
Seratus hari kematian
Konon rus sudah mempunyai rumah sendiri dan sudah bekerja kembali seperti pekerjaan yang dikerjakannya di dunia. Pada seratus hari kematiannya itu, ruh kembali ke bumi untuk memberi kabar bahwa ia telah menjadi penduduk akhirat, keluarganya didunia menyambutnya dengan pesta saratus hari kematian. Ruh berterima kasih pada keluarganya di dunia, karena telah bersusah payah mendirikan rumah untuknya di akhirat, telah mengirimkan hamba sahaya, memberi modal dsb.
Sawaktu-waktu ruh kembali ke dunia untuk melihat-lihat keluarganya di dunia, apakah mereka yang ditinggalkan itu berbuat baik atau berbuat jahat. Pada masa itu kuku mayat menjelma menjadi kunang-kunang.
Setahun kematian
Memperingati setahun kematian dengan acara sembahyang, menyajikan makanan dan minuman untuk ruh mendiang, setelah ruh mendiang dipanggil untuk hadir, diundangnya pula tetangga untuk makan-minum. Ditulisnya nama mendiang di papap arwah.
Tiga tahun kematian
Tiga tahun kematian atau seribu hari kematian, termasuk pesta besar, diadakan di rumah dan kuburan. Keluarga sembahyang bersama-sama, menyajikan makanan dan minuman yang mewah membakar kertas sembahyang dan sebagian pakaian mendiang, lalu sebagian pula diberikan pada orang lain/bukan keluarga.
Abu hio sejak upacara sembahyang sehari kematian sampai seribu harinya itu dibiarkan pada tempat pembakaran hio dan dianggap abu pusaka. Diatas meja sembahyang disimpan gambar mendiang. Setiap tahun, hari kematiannya tetap diperingati.
Selepas upacara seribu hari kematian. Keluarga yang ditinggalkan melepas pakaian berkabung "putih-putih" dan kembali berpakaian sehari-hari.
Han Sit Ciat dan Cing Beng
Di Cina, tiga hari menjelang Cing Beng, dirayakan upacara memperingati menteri Kai Cu Cui dari negeri Cin yang mati terbakar bersama ibunya dalam hutan.
Tersebutlah Kai Cu Cui seorang menteri yang setia kepada Raja Cin, tetapi raja Cin seolah mengacuhkannya. Maka Kai Cu Cui bersembunyi bersama ibunya dalam hutan, Raja Cin membakar hutan itu agar Kai Cu Cui keluar, tetap ia rela terbakar bersama ibunya itu. Raja Cin menyesal, lalu diadakannya upacara sembahyang bagi Kai Cu Cui dan ibunya itu. Selama tiga hari, bulan kedua atau ketiga, api dapur dimatikan dan makan makanan dingin.
Agar raja Cin selalu ingat kepada jasa-jasanya, Raja Cin membuat alas kaki dari kayu yang diambilnya dari hutan itu dinamakan bakiak, lalu dipakainya sehari-hari.
Cing Bing dirayakan pada bulan kedua atau ketiga (Sa Gwi), pada umumnya bulan ketiga. Pesta diadakan di kuburan, Cing Bing merupakan pesta arwah, dilakukannya sembahyang bersama, disajikannya makanan-minuman untuk arwah orang tua dan nenek moyang. Di Cina, pada saat itu permualaan musim semi.
Cio Ko - Sembahyang Rebutan
Pada 15 Cit Gwi, diadakan sembahyang untuk arwah dan peringatan kelahiran Tiong Tie Kuan, raja akhirat, di kelenteng, genderang pemanggil arwah dibunyikan, disajikannya pelbagai jenis makanan dan minuman. Konon arwah yang tersiksa di akhirat, selama setengah bulan dibebaskan dan mereka turun ke bumi pada hari ke-15 Cit Gwi kembali ke tenpat siksaannya itu. Lepas ucapara sembahyang, semua makanan dan minuman dibagikan sehingga menjadi rebutan orang miskin.
Pada masa Hindu dan Buddha
Di Cina, Korea dan Jepang, bagi pemeluk agama Buddha, upacara kematian dan pesta arwah disesuaikan dengan agama Buddha.
Di Asia Tenggara, upacara kamatian disesuaikan dengan agama Hindu dan Buddha, seribu hari kematian dibaurkan dalam upacara Syraddha, pelepas ruh dari ikatan dunia.
Pada masa Islam
Setalah Islam berkembang ke Asia Tenggara dan sekitarnya, upacara kematian dan pesta arwah tetap dilakuakan tetapi disadur diwarnai dengan warna Islam, isi bacaannya digantikan tahlil, shalawat dan surat-surat pendek dan Qur'an, pahala bacaannya itu dihadiahkan kepada arwah, ditutup makan minum sebagian dibekalkan untuk para Lebai.
Di Jawa, bulan Sya'ban dinamakan bulan Rewah (Arwah), pada lima belas Rewah, diadakan sedekah arwah, menyajikan makan-minum bagi arwah, konon pada bulan Rewah, arwah yang tersiksa dalam neraka, dilepaskan selama lima belas hari dan mereka turun ke bumi, pada lima belas Rewah, mereka kembali lagi ke neraka.
Sesunggunnya dalam Islam, Tidak ada upacara kematian 1-3-7-9-15-40-100-1000 hari, tidak ada khaol, peringatan hari kematian, tidak ada sidkah arwah, upacara ini sisa dari agama Yang
Sumber: Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46 oleh A. D. El Marzdedeq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar